(Image Source: www.lenovo.com) Ada banyak cara yang sanggup dilakukan dalam melaksanakan sebuah promosi barang atau jasa. Seperti contohnya dengan mengadakan event yang secara tidak pribadi juga sanggup dipakai untuk mempromosikan produk tertentu. Bisa juga dengan melaksanakan acara sosial yang didukung dengan memakai kelebihan yang dimiliki oleh barang-barang tertentu. Lenovo sebagai salah satu perusahaan teknologi yang banyak memproduksi barang elektronik termasuk yang juga sering mengadakan event dan melaksanakan kegiatan promosi. Ada banyak kegiatan dari Lenovo yang sanggup kita ikut hanya dengan bermodalkan laptop saja. Berikut ini beberapa event dan kegiatan promosi seru yang pernah bahkan rutin dilakukan oleh Lenovo, khususnya di Indonesia. Turnamen E-Sports Lenovo merupakan salah satu produsen laptop yang juga pernah menjadi sponsor dalam penyelenggaraan turnamen E-Sports. Sponsorship Lenovo dalam hal ini secara tidak pribadi juga sanggup bermanfaat se...
Rintik air hujan memang telah menyapa daerah karst Pegunungan Sewu nan manis dan permai. Namun, derita kemarau panjang yang dirasakan oleh masyarakatnya ternyata belum juga usai. Terlihat, masih banyak di antara mereka yang harus bersusah payah mencari air dengan menggali telaga dan sungai-sungai.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Wahyudi. Demi mendapatkan air, siang itu ia terpaksa membuat lubang di dasar sungai yang mulai mengering. Air yang ada di dalam lubang tersebut kemudian disedotnya memakai diesel. Lantas, digunakannya untuk mandi, mencuci pakaian dan mengairi lahan jagung miliknya.
“Mau mencari sumber air lain sudah tidak ada. Semuanya kering,” tutur warga Dusun Koripan, Desa Wiroko, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri, Jawa Tengah kala itu.
Tidak hanya di daerah Tirtomoyo. Dalam setengah tahun belakangan ini, ternyata sebagian besar wilayah Wonogiri bab selatan juga terdampak kekeringan. Nyaris semuanya mengalami krisis air. Beberapa bahkan krisis pangan, alasannya yaitu gagal panen. Dan tentu saja, tak jauh beda dengan Wahyudi. Agar sanggup bertahan hidup, mereka pun rela mengais sisa-sisa air yang ada di dasar telaga ataupun sungai-sungai.
(Kemarau panjang memaksa warga Wonogiri bab selatan mengais sisa-sisa air di dasar sungai/Dok. Pribadi)
Seketika, saya pun teringat akan Desa Pucung, sebuah desa yang terletak sekitar 35 kilometer sebelah barat daya dari sentra Kota Wonogiri. Tepatnya, berada di wilayah Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Seperti lazimnya daerah yang berada di daerah karst, dahulu krisis air juga menjadi permasalahan utama yang dihadapi oleh warga di desa ini. Ya, kala itu setidaknya ada 7 di antara 15 dusun di Desa Pucung yang selalu menjadi langganan kekeringan. Sebut saja Dusun Brengkut, Gundi, Jalakan, Kangkung, Mijil, Pule, dan Turi.
Sepanjang tahunnya, para warga dari ketujuh dusun ini harus berjuang untuk mencukupi kebutuhan air minumnya. Tentu saja, dengan cara-cara yang masih sederhana. Mulai dari membuat kolam penampung air hujan, hingga membuat lubang di sekitar telaga. Saat puncak demam isu kemarau tiba, mereka bahkan terpaksa membeli air higienis yang dijual oleh pihak swasta.
Konon, untuk mendapatkan satu tangki air sebanyak 6.000 liter, warga harus merogoh kocek mulai Rp200 ribuan. Satu tangkinya, rata-rata hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup lima orang saja selama sepekan. Sementara tragedi kekeringan di daerah karts, terjadi secara periodik dan biasanya berlangsung selama 5 hingga 9 bulan.
Kondisi semacam ini mungkin tak begitu jadi kasus jikalau menimpa warga kelas atas. Sayangnya, dominan masyarakat Desa Pucung yaitu petani dan buruh. Kehidupannya jauh dari kata sejahtera. Dengan perkiraan rata-rata kepemilikan lahan setengah hektare per KK, maka penghasilan tiap KK per bulan dari hasil pertaniannya hanya berkisar Rp600 ribuan saja.
Sungguh ironis. Namun, mereka tak punya pilihan. Persoalan air yaitu kasus hidup atau mati. Apapun akan mereka lakukan demi sanggup menyambung hidup. Tak jarang, untuk memenuhi kebutuhan air ketika puncak demam isu kemarau melanda, mereka pun harus menjual ternak serta aksesori emas yang selama ini menjadi tabungannya.
Beruntung juga jikalau masih ada barang yang sanggup dijual. Mereka yang tidak mempunyai apapun untuk dijual, tentu hanya punya tiga pilihan: menunggu santunan droping air dari Dinas Sosial dan ormas yang punya kepedulian, mencari sumber air ke desa lain, ataupun pasrah sambil bertanya-tanya: kapankah hujan deras akan mengguyur dusun mereka?
Atau barangkali untuk menghibur diri, mereka juga akan membuat sebuah lagu perihal kemarau, kemudian menyanyikannya. Sebagaimana lagu “Kemarau” milik Prambors Band, grup band yang pernah eksis di tahun 1970 hingga 1980-an.
Tiada pohon yang rindang tempat berteduh diri. Air mata pun kering, bunyi hati pun membisu. Saat itu, kemarau yang datang, cita hati t'rasa sendu. Cahya mentari t’rasa panas, menyinari jiwa ini.. Kapankah mendung tiba mengalun, mengusir kemarau kali ini?”Atau jangan-jangan, justru Prambors Band-lah yang terinspirasi dari kemarau di Desa Pucung, sehingga merilis lagu “Kemarau”-nya pada tahun 1986 silam? Pasalnya, kemarau panjang di Desa Pucung ini memang sudah turun temurun semenjak dahulu kala. Entahlah. Satu hal yang pasti, lain dulu lain sekarang. Saat ini, warga Desa Pucung telah terbebas dari jerat kekeringan alasannya yaitu kemarau panjang.
Kisah indah itu bermula di tahun 2001. Ketika Joko Sulistyo bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam KMPA Giri Bahama Fakultas Geografi UMS melaksanakan penjelajahan gua di wilayah Kecamatan Eromoko. Kala itu, dari 13 gua yang dijelajahinya, mereka menemukan ada satu gua yang mempunyai sungai bawah tanah, yaitu Gua Suruh.
(Joko Sulistyo, penyalur air kapur bagi warga Wonogiri/Dok. satu-indonesia.com)
Syahdan, sehabis memasuki Gua Suruh sepanjang 30 meteran, Joko dan kawan-kawannya harus menyusuri lubang yang hanya cukup dimasuki oleh 3 orang saja. Tak cukup hingga di situ, mereka juga harus berjuang menaklukkan lubang vertikal sebanyak dua kali. Lubang vertikal pertama setinggi 17 meter, sedangkan lubang vertikal keduanya sekitar 11 meter. Baru sehabis itu, sampailah mereka di sungai bawah tanah.
Penemuan sungai bawah tanah di Gua Suruh itu pun, seketika memantik ide Joko untuk mengangkat airnya ke permukaan. Baginya, sungai bawah tanah di gua ini mempunyai potensi yang sanggup menjadi solusi atas kesulitan air higienis di daerah Desa Pucung. Tak ayal lagi, cowok kelahiran Sragen itu pun sangat berharap biar keberadaan sungai bawah tanah ini sanggup benar-benar bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Beberapa penelitian pun kemudian dilakukan oleh Joko dan kawan-kawannya. Mulai dari mengukur seberapa besar debit air yang ada hingga kualitas airnya. Dari penelitian itu, didapati data bahwa sungai bawah tanah Gua Suruh mempunyai debit air minimal 2 liter per detik dengan fatwa konstan sepanjang tahun. Alhasil, pada puncak demam isu kemarau sekalipun, sungai ini diprediksi tetap mempunyai ketersediaan air. Dari segi kualitas, meski kesadahannya terbilang cukup tinggi, namun air sungai bawah tanah Gua Suruh juga masih layak untuk dikonsumsi.
(Pengambilan sampel untuk mengetahui kualitas air Gua Suruh/Dok.Joko Sulistyo)
Dalam rentang tahun 2003 hingga 2009, Joko juga mencoba mengajukan anjuran pengangkatan air Gua Suruh ke banyak sekali pihak. Namun, belum mendapatkan hasil. Upaya pengangkatan air sungai bawah tanah Gua Suruh kesudahannya menemui titik jelas pada pertengahan 2012. Setelah turun kabar bahwa Desa Pucung memperoleh santunan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Pemerintah Daerah Wonogiri untuk acara Peningkatan Sarana dan Prasarana Air bersih.
Asa Joko untuk segera mewujudkan mimpinya pun melambung. Terlebih sehabis pada September 2012, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Wilayah Jawa Tengah menyatakan kesanggupannya untuk mendukung penuh acara pengangkatan air sungai bawah tanah Gua Suruh.
Kegiatan megaproyek selama 6 bulan ini pun segera dimulai. Joko dan kawan-kawannya bergotong-royong bersama masyarakat setempat. Membuat jalan setapak menuju Gua Suruh, menurunkan lebih dari dua ton material untuk membendung sungai di dalam gua, hingga memasang listrik, pipa dan pompa untuk menyedot air. Tak lupa, mereka juga gotong royong membuat beberapa kolam untuk menampung air di luar gua.
(Pembuatan bendungan di sungai bawah tanah Gua Suruh/Dok.Joko Sulistyo)
Megaproyek senilai hampir Rp460-an juta itu pun terselesaikan dengan baik berkat kerjasama banyak pihak. Sebut saja, DDII Jawa Tengah dengan santunan dana sebesar Rp89 juta, swadaya masyarakat Pucung senilai Rp44 juta, masyarakat umum Rp13 juta, KMPA Giri Bahama senilai Rp193 juta, serta Pemerintah Daerah Wonogiri senilai Rp162 juta. Satu lagi, yaitu berkat semangat dan usaha Joko Sulistyo yang tak ternilai oleh apapun.
Semangat dan usaha itu kemudian mengantarkannya mendapatkan apresiasi SATU Indonesia Awards tahun 2013 untuk bidang lingkungan. Ya, langkah besar Joko memang sejalan dengan Semangat Astra Terpadu untuk Indonesia. Ia telah berhasil mengangkat air sungai bawah tanah Gua Suruh untuk kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat sejumlah 2.354 jiwa kala itu.
(Warga memanfaatkan air Gua Suruh dari salah satu hidran umum/Dok.Joko Sulistyo)
Lebih dari itu, acara penyaluran air sungai bawah tanah yang dilakukan Joko Sulistyo ternyata juga memberi laba hemat sangat tinggi. Warga yang semula harus membayar Rp50 ribu untuk tiap 1 meter kubik air, kini hanya perlu merogoh kocek Rp3 ribu saja untuk tiap pemakaian 1 meter kubik air dari Gua Suruh. Tak ayal lagi, tabungan yang selama ini habis mereka keluarkan untuk membeli air pun sanggup disisihkan untuk biaya pendidikan anak dan banyak sekali keperluan lainnya.
Saat ini sudah hampir tujuh tahun, air sungai bawah tanah Gua Suruh pun terus mengalir. Bahkan, keberadaannya kini tak hanya sekadar menuntaskan kasus kekeringan. Melainkan, juga sanggup mendorong tumbuhnya acara ekonomi masyarakat dengan pemanfaatan air sisa pemompaan dari Gua Suruh. Salah satunya, yaitu melalui acara produktif yang dilakukan oleh ibu-ibu PKK di Dusun Kangkung.
(Warga juga memanfaatkan air sisa pemompaan dari Gua Suruh untuk acara produktif ibarat menanam tanaman sayur di halaman rumah/Dok.Pribadi)
Tak ketinggalan juga, Kelompok Karang Taruna Dusun Mijil melalui sebuah usaha bersama, yaitu pengelolaan ternak lele. Dari hasil penjualan ternak lele ini, jikalau dirata-rata mereka sanggup menyumbangkan Rp235 ribu per bulan kepada Pengelola Air Tirta Goa Suruh. Dana-dana ini, kemudian dipakai untuk menambah biaya perawatan mesin pompa biar ia terus mengalirkan air ke rumah-rumah warga. Dari setiap tetes air yang dialirkannya, tumbuh pula sejuta asa masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya ke arah yang lebih baik.
***
#KitaSatuIndonesia #IndonesiaBicaraBaik
Komentar
Posting Komentar